Pasca terjadinya peristiwa pengusiran
Yahudi Bani Qunaiqa dari Madinah dan untuk menjelaskan perbedaan antara
si munafik Abdullah bin Ubay dengan sahabat Ubadah bin Shamit, Allah Swt
berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang zalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada
penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka
(Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat
bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada
Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu,
mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri
mereka.” (QS. Al Maidah : 51-52)
Jika diperhatikan hukum syariat yang dikeluarkan menyusul peristiwa ini,
yaitu ayat-ayat Alquran yang diturunkan sebagai komentar terhadap kasus
tersebut, dapatlah diketahui bahwa seorang Muslim tidak boleh
menjadikan non-Muslim sebagai wali (pemimpin/pelindung/penolong) atau
atau sebagai “teman setia” atau “sejawat” untuk melakukan kerjasama dan
menjalin tanggung jawab kewalian.
Masalah ini termasuk hukum-hukum Islam yang tidak pernah diperselisihkan
oleh kaum Muslimin sepanjang masa karena ayat-ayat Alquran menyangkut
masalah ini banyak sekali jumlahnya. Hadits-hadits Nabawi pun yang
menegaskan masalah ini bahkan mencapai derajat mutawatir ma’nawi.
Disini, tidak perlu kami sebutkan dalil-dalil tersebut mengingat sudah
banyak diketahui oleh masyarakat luas.
Tidak ada pengecualian dalam hukum wala’ ini melainkan disebabkan oleh
satu kondisi, yaitu apabila kaum Muslimin dalam keadaan terlalu lemah
menghadapi berbagai intimidasi dipaksa sedemikian rupa untuk memberikan
wala’nya. Allah Swt telah memberikan keterangan ini dalam firman-Nya:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena
(siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada
Allah kembali (mu)”. (QS. Ali Imran : 28)
Allahuyarham Dr Muhammad Said Ramadhan Al Buthy dalam kitab Fiqhus Shirah-nya
menjelaskan, larangan menjadikan non-Muslim sebagai wali ini tidak
berarti sebagai perintah untuk berbuat dengki pada mereka. Seorang
Muslim dilarang berlaku dengki kepada siapapun. Harus disadari pula
bahwa seseorang marah terhadap orang lain karena Allah Swtitu tidak sama
dengan berbuat dengki kepadanya. Hal ini karena tindakan yang pertama
bersumber dari kemungkaran non-Muslim yang tidak diridhai Allah yang
membuat seorang Muslim marah karenanya. Sementara itu, tindakan yang
kedua bersumber dari pribadinya, tanpa memandang tindakan dan
perbuatannya.
Marah karena Allah Swt sebenarnya timbul karena rasa kasihan kepada
orang yang berbuat maksiat atau orang kafir yang sepatutnya mendapatkan
murka tersebut. Hal ini karena seorang Mukmin diperintahkan supaya
mencintai semua orang sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Tidak
ada sesuatu yang lebih dicintai oleh seorang mukmin selain membebaskan
dirinya dari siksa hari kiamat dan meraih kebahagiaan abadi. Karena itu,
jika ia marah kepada orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang
kafir, itu hanya karena ghirah-nya kepada mereka dan keprihatinannya
melihat mereka terancam oleh kesengsaraan abadi dan siksa Allah Swt di
akhirat. Ini tentu bukan tindakan dengki yang dilarang. Tindakan ini tak
ubahnya seperti seorang ayah yang marah kepada anaknya demi
kemaslahatan dan kebahagiaan sang anak tersebut.
Tindakan ini juga tidak bertentangan dengan perintah bertindak “keras”
terhadap kaum kafir, karena sering kali tindakan “keras” itu merupakan
satu-satunya sarana untuk perbaikan. Seorang penyair pernah berkata,
“Bertindaklah keras supaya mereka sadar. Siapa yang mengasihi seseorang, hendaklah sekali-kali bertindak keras kepadanya.”
Hendaknya diketahui pula bahwa larangan memberikan wala’ kepada kaum
kafir tidak berarti memberikan peluang untuk bertindak tidak adil kepada
mereka atau tidak menghormati perjanjian-perjanjian yang sedang
berlangsung antara kaum Muslimin dengan kaum kafir. Keadilan harus
selalu ditegakkan. Kebencian dan kemarahan karena Allah sama sekali
tidak boleh menghalangi pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan.
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong
kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa...” (QS. Al Ma’idah : 8)
Hal ini bertujuan supaya Anda menyadari bahwa kaum Muslimin tidak
seperti umat lain, adalah satu umat sebagaimana ditegaskan dalam naskah
perjanjian yang telah kami jelaskan terdahulu. Dengan demikian, wala’
dan persaudaraan mereka harus dibatasi pada lingkungan mereka saja.
Adapun pergaulan (mu’amalah) mereka kepada semua orang harus didasarkan
kepada prinsip keadilan dan keinginan akan kebaikan bagi semua orang.
[shodiq ramadhan] Suara-Islam.com