Pages

Friday, October 31, 2014

Jangan Jadikan Non Muslim Sebagai Pemimpin

Pasca terjadinya peristiwa pengusiran Yahudi Bani Qunaiqa dari Madinah dan untuk menjelaskan perbedaan antara si munafik Abdullah bin Ubay dengan sahabat Ubadah bin Shamit, Allah Swt berfirman: 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (QS. Al Maidah : 51-52)

Jika diperhatikan hukum syariat yang dikeluarkan menyusul peristiwa ini, yaitu ayat-ayat Alquran yang diturunkan sebagai komentar terhadap kasus tersebut, dapatlah diketahui bahwa seorang Muslim tidak boleh menjadikan non-Muslim sebagai wali (pemimpin/pelindung/penolong) atau atau sebagai “teman setia” atau “sejawat” untuk melakukan kerjasama dan menjalin tanggung jawab kewalian.

Masalah ini termasuk hukum-hukum Islam yang tidak pernah diperselisihkan oleh kaum Muslimin sepanjang masa karena ayat-ayat Alquran menyangkut masalah ini banyak sekali jumlahnya. Hadits-hadits Nabawi pun yang menegaskan masalah ini bahkan mencapai derajat mutawatir ma’nawi. Disini, tidak perlu kami sebutkan dalil-dalil tersebut mengingat sudah banyak diketahui oleh masyarakat luas.

Tidak ada pengecualian dalam hukum wala’ ini melainkan disebabkan oleh satu kondisi, yaitu apabila kaum Muslimin dalam keadaan terlalu lemah menghadapi berbagai intimidasi dipaksa sedemikian rupa untuk memberikan wala’nya. Allah Swt telah memberikan keterangan ini dalam firman-Nya:

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu)”. (QS. Ali Imran : 28)

Allahuyarham Dr Muhammad Said Ramadhan Al Buthy dalam kitab Fiqhus Shirah-nya menjelaskan, larangan menjadikan non-Muslim sebagai wali ini tidak berarti  sebagai perintah untuk berbuat dengki pada mereka. Seorang Muslim dilarang berlaku dengki kepada siapapun. Harus disadari pula bahwa seseorang marah terhadap orang lain karena Allah Swtitu tidak sama dengan berbuat dengki kepadanya. Hal ini karena tindakan yang pertama bersumber dari kemungkaran non-Muslim yang tidak diridhai Allah yang membuat seorang Muslim marah karenanya. Sementara itu, tindakan yang kedua bersumber dari pribadinya, tanpa memandang tindakan dan perbuatannya.

Marah karena Allah Swt sebenarnya timbul karena rasa kasihan kepada orang yang berbuat maksiat atau orang kafir yang sepatutnya mendapatkan murka tersebut. Hal ini karena seorang Mukmin diperintahkan supaya mencintai semua orang sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh seorang mukmin selain membebaskan dirinya dari siksa hari kiamat dan meraih kebahagiaan abadi. Karena itu, jika ia marah kepada orang-orang yang berbuat maksiat atau orang-orang kafir, itu hanya karena ghirah-nya kepada mereka dan keprihatinannya melihat mereka terancam oleh kesengsaraan abadi dan siksa Allah Swt di akhirat. Ini tentu bukan tindakan dengki yang dilarang. Tindakan ini tak ubahnya seperti seorang ayah yang marah kepada anaknya demi kemaslahatan dan kebahagiaan sang anak tersebut.

Tindakan ini juga tidak bertentangan dengan perintah bertindak “keras” terhadap kaum kafir, karena sering kali tindakan “keras” itu merupakan satu-satunya sarana untuk perbaikan. Seorang penyair pernah berkata,

“Bertindaklah keras supaya mereka sadar. Siapa yang mengasihi seseorang, hendaklah sekali-kali bertindak keras kepadanya.”

Hendaknya diketahui pula bahwa larangan memberikan wala’ kepada kaum kafir tidak berarti memberikan peluang untuk bertindak tidak adil kepada mereka atau tidak menghormati perjanjian-perjanjian yang sedang berlangsung antara kaum Muslimin dengan kaum kafir. Keadilan harus selalu ditegakkan. Kebencian dan kemarahan karena Allah sama sekali tidak boleh menghalangi pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan.

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...” (QS. Al Ma’idah : 8)

Hal ini bertujuan supaya Anda menyadari bahwa kaum Muslimin tidak seperti umat lain, adalah satu umat sebagaimana ditegaskan dalam naskah perjanjian yang telah kami jelaskan terdahulu. Dengan demikian, wala’ dan persaudaraan mereka harus dibatasi pada lingkungan mereka saja. Adapun pergaulan (mu’amalah) mereka kepada semua orang harus didasarkan kepada prinsip keadilan dan keinginan akan kebaikan bagi semua orang.

[shodiq ramadhan] Suara-Islam.com