Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri. MA
Soal :
Bismillah. Assalamu’alaikum warahmatullah. Afwan, ada sebagian orang berpendapat bahwa pembagian waris harus memenuhi unsur keadilan (syari’at mengatur laki-laki mendapat 2 bagian wanita 1 bagian) mereka berpendapat jika seperti itu kemungkinan tidak adil. Misalnya, si laki-laki kaya (mampu) sedangkan si wanita miskin, jika diberikan 2 bagian untuk laki-laki katanya tidak adil. Betulkah pendapat mereka ? Pembagian waris laki-laki dan wanita 2:1, apakah memang dalam semua keadaan (misal contoh diatas) ? atas jawabannya saya ucapkan, “Jazakumulloh khoirol jaza’.”(Hamba Alloh, 08132766xxxx)
Jawaban :
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya.
Keadilan adalah asas tegaknya alam semesta. Karenanya, wajar bila keadilan adalah bagian dari prinsip utama syari’at Islam. Dan Allah membenci dan memerangi segala bentuk kezhaliman.
Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat zholim (QS. Ali Imran [3] : 57)
Bukan hanya mengharamkannya atas umat manusia saja, bahkan Alloh Ta’ala juga mengharamkannya atas diri-Nya sendiri
“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan tindak kezholiman atas diri-Ku sendiri, dan Aku mengharamkannya atas kalian, maka jangan saling mengzhalimi.” (HR. Muslim)
Anda bisa membayangkan betapa pentingnya keadilan, bila ternyata Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa juga mengharamkan tindak kezhaliman atas diri-Nya. Bila demikian adanya, mungkinkah ada satu syari’at-Nya yang mengandung kezhaliman atau ketidakadilan ?
Hanya, yang perlu diluruskan adalah definisi tentang keadilan. Apa dan menurut siapa Anda mendefinisikan kata keadilan ? Kaum komunis memiliki definisi tersendiri, sebagaimana kaum kapitalis dan sekular juga memiliki definisi tersendiri.
Nah, keadilan menurut siapakah yang anda inginkan ? Mungkinkah Anda sebagai orang yang beriman menginginkan keadilan sebagaimana yang dideskripsikan oleh kaun komunis ? Atau mungkinkah Anda memahami arti keadilan sebagaimana yaang dipahami oleh kebanyakan orang, yaitu “sama dalam segala hal”?
Bila ini yang Anda inginkan, perkenankah saya balik bertanya, menurut hemat Anda, adilkah bila suami Anda dihiasi dengan beraneka ragam make up, mengenakan perhiasan, dan berjalan berlenggak-lenggok dengan mengenakan pakaian sebagaimana yang Anda kenakan ? bila Anda lelaki, sudikah Anda menikahi wanita yang berpostur tegap, bersuara lantang, tidak pernah mengenakan make up, berambut cepak, dan berprofesi sebagai tukang ojek? Relakah bila istri Anda mendapatkan tugas dari Pak RT untuk ronda malam, menjaga keamana kampung Anda ? demikianlah keadilan yang Anda maksudkan ?
Bila Anda rela menerima keadilan dengan aplikasi di atas, maka saya tidak lagi kuasa untuk mengomentari pertanyaan Anda ini. Dan bila Anda tidak rela, maka berarti kita memiliki kesamaan bahwa keadilan haruslah selaras dengan kodrat ilahi pada masing-masing kita.
Anda merasa bahwa lelaki yang berdandan dengan make up, berkebaya, yang berlenggak-lenggok telah menyalahi kodrat ilahi sehingga tidak layak untuk menjadi suami. Demikian pula halnya dengan wanita yang berambut cepak, bersuara keras, dan berprofesi sebagai tukang ojek, tidak layak menjadi isteri. Kalau begitu, ketahuilah bahwa ketika Alloh menentukan bahwa bagian anak lelaki dari warisan orang tuanya dua kali lipat dari warisan anak wanita, maka itu sesuai dengan kodrat mereka.
Allah telah mensyari’atkan atas kalian perihal warisan anak-anakmu. Anak lelaki mendapatkan bagian sama dengan bagian dua anak wanita. (QS. An-Nisa’ [4] : 11)
Syari’at ini selaras dengan garis kodrat lelaki yang berkewajiban untuk menafkahi dan memimpin kaum wanita. Dengan demikian, syari’at ini adil dan tidak ada yang perlu dirisaukan. Walaupun wanita mendapatkan bagian yang sedikit, seluruh bagiannya itu hanya ia nikmati seorang diri. Sebab itu, walau nominalnya kecil, faktor pembaginya hanya seorang, maka hasilnya menjadi besar. Adapun anak lelaki, walau ia mendapatkan bagian dua lipat, ia harus menggunakannya untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Dengan demikian, walaupun nominalnya besar, pada akhirnya menjadi sedikit.
Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian lainnya (kaum wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) memberikan nafkah dari hartanya. (QS. An-Nisa’ [4] : 34).
Boleh jadi Anda akan berkata, “Apa yang Anda utarakan itu hanya berlaku pada zaman dahulu. Akan tetapi, zaman sekarang kaum wanita turut serta bekerja mencari nafkah dan membiayai keluarga.”
Baiklah saudaraku, bila Anda berkata demikian maka perkenankan saya balik bertanya, “Akankah perubahan yang menyalahi kodrat ini menjadikan Anda mengubah persepsi tentang keadilan, sehingga sekarang Anda rela untuk menikahi lelaki atau wanita yang saya gambarkan di atas ?
Perubahan yang terjadi tersebut identik dengan perubahan yang terjadi pada kesehatan mata Anda. Pandangan Anda berkunang-kunang hingga segala benda tampak samar bahkan seakan-akan menjadi ganda. Mungkinkah kala itu Anda mengubah persepsi Anda tentang kepastian bahwa setiap benda yang Anda pandang hanyalah satu ? atau Anda yang berusaha untuk mengobati perubahan yang terjadi pada kesehatan mata Anda agar kembali sebagaimana sedia kala.
Saya yakin, Anda akan berusaha mengobati mata Anda agar kembali seperti sedia kala, karena ketetapan benda-benda yang Anda saksikan hanya satu adalah sesuatu yang pasti dan benar. Demikian pula hendakny Anda menyikapi perubahan persepsi dan pola pandang terhadap pembagian warisan. Kembalikan cara pandang dan sikap kaum lelaki agar bertanggung jawab penuh atas istri dan anak-anaknya. Dengan begitu, Anda kembali dapat merasakan indahnya keadilan Islam dalam membagi warisan. Dan pola pikir Anda pun kembali sehat dan selaras dengan kodrat ilahi.
Semoga jawaban singkat ini bermanfaat bagi saudaraku sekalian, dan semoga pola pikir umat Islam dapat kembali sehat sebagaimana dahulu pendahulu umat ini memandang berbagai permasalahan mereka, Selebihnya bertaubatlah kita selalu kepada Allah SWT. Wallahu Ta’ala A’lam bish shawab.
Artikel: www.ibnuabbaskendari.wordpress.com
Disalin dari Majalah ALFURQON (Rubrik: Soal-Jawab Mu’amalah) no. 109 edisi: 06 thn ke 10 Muharram 1431.H/Desember 2010.H
No comments:
Post a Comment